Pengertian Naskh dan manksuh
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya berarti “Izalatu alsyay’I waa’damuhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “Naqlu al syay’I” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan).
Sedangkan Naskh secara istilah : mengangkat (mengahapus) hukum syara’ dengan dalil/khithab syara’ yang lain”. Maksud mengangkat hukum syara’ adalah terutusnya kaitab hukum yang Mansukh dengan perbuatan mukallaf .Definisi di atas apabila dijelaskan lagi dapat kita tarik beberapa kesimpulan yakni:
- Dipastikan Naskh apabila ada 2 (dua) hal yaitu Naskh dan Mansukh
- Naskh harus turun belakangan dari Mansukh
- Menilai suatu ayat sebagai penaskh dan yang dinaskhkan apabilan ayat-ayat kontradiktif itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara bersama sedangkan syarat kontradiksi;adanya persamaan subjek, objek, waktu dan lainlain.
- Al-Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan ayat yang menasikh Mansukh. Sedangkan Mansukh hukum yang diangkat atau dihapus
Dari definisi di atas dijelaskan bahwa komponen Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada naskh harus ada.
Mansukh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam naskh diperlukan syarat yaitu hukum yang Mansukh adalah hukum syara’, dalil pengahpusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang kemudian dari kitab yang dimansukh, dan kitab yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu .
Beranjak dari keterangan di atas, tentu syarat-syarat tersebut akan dihubungkan langsung dengan hal-hal mengalami Naskh maka dalam hal ini akan dijelaskan halhal yang mengalami Naskh. Naskh hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahy), baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau larangan, selama tidak terhubung dengan akidah zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, pada rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalat7. Sebagaimana pendapat al-Zarqani tentang hal ini “Definisi Naskh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum syara’. Yang memberi kesan bahwa Naskh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan furu’ ibadah dan muamalat menurut orang-orang yang mengakui Naskh. Adapun yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita-berita mahdhah, maka menurut jumhur ulama tidak terjadi naskh padanya”.
Pedoman untuk mengetahui naskh dan Mansukh ada beberapa cara berikut : 1. Ada keterangan pegas pentransimisian yang jelas dari Nabi SAW; 2. Konsensus (Ijma) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat Mansukh; 3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan histori.
Pembagian Naskh dalam Al-Qur’an
Naskh terbagi kedalam 3 bagian:
- Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Para ulama yang mengakui adanya naskh telah sepakat adanya naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan itupun telah terjadi menurut mereka. Salah satu contohnya ayat ‘iddah satu tahun di-naskhan dengan ‘iddah 4 bulan 10 hari.
- Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh yang macam ini terbagi menjadi dua. Pertama naskh Al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur ulama berpendapat, hadits ahad tidak bisa menaskhan Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah naskh yang mutawatir, menunjukan keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan padanya, sedangkan hadist ahad adalah naskh yang bersifat zhanni dan tidak sah pula menghapus suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang sifat dugaan/diduga.
- Naskh sunnah dengan al-Qur’an. Jumhur ulama membolehkan naskh seperti ini, salahsatu contohnya adalah menghadap ke Baitul maqdis yang ditetapkan oleh sunnah, kemudian ketetapan ini di nashkan oleh Al-Qur’an.
- Nash sunnah dengan sunnah, sunnah maca mini terbagi pada empat macam, yaitu : Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir, Naskh sunnah ahad dengan sunnah ahad, naskh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir, dan Naskh mutawatir dengan sunnah ahad.
Ayat-ayat yang masyur naskhnya
Adapun ayat-ayat yang masyur naskhnya dapat kita lihat di bawah ini, diantara ayat yang masyur naskhnya terdapat dalam surah al-baqarah ayat 180 dinaskhan dengan hadits; “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepda setiap orang yang mempunyai hak akan haknya maka tidak ada wasiat bagi waris”. Ayat 240 dalam surah al-baqarah dinaskhan dengan ayat 234 terdapat dalam surah yang sama. Dan ayat 224 dalam surah al-baqarah dinaskhan dengan ayat 286 dalam surah yang sama.