Ayat 3
اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌ ۚوَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ ٣
3. Pezina laki-laki tidak pantas menikah, kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik dan pezina perempuan tidak pantas menikah, kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik. Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.
Asbabun Nuzul
An-Nasa’i meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa dahulu ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul yang berprofesi sebagai pelacur, lalu ada salah satu sahabat Nabi saw. yang ingin mengawininya. Maka Allah menurunkan ayat ini
Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan al-Hakim meriwayatkan dari hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa dahulu seorang laki-laki yang bernama Mazid dibawa dari tawanan di Mekah hingga sampai di Madinah. Dia punya seorang kawan wanita di Mekah yang bernama Inaq. Dia minta izin kepada Nabi saw. untuk mengawini wanita tersebut, akan tetapi beliau sama sekali tidak menjawab, hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah bersabda, “Hai Mazid! Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina atau perempuan musyrik”. Karena itu, jangan mengawininya!”
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Mujahid bahwa ketika Allah mengharamkan zina-padahal para wanita pelacur itu cantik-cantik- ada yang berkata, “Biarlah mereka bebas dan menikah.” Maka turunlah ayat ini.
Ayat 6-8
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَاۤءُ اِلَّآ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ ۙاِنَّهٗ لَمِنَ الصّٰدِقِيْنَ ٦ وَالْخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ اللّٰهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ ٧ وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ اَنْ تَشْهَدَ اَرْبَعَ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ اِنَّهٗ لَمِنَ الْكٰذِبِيْنَ ۙ ٨
6. Orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah atas (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang benar. 7. (Sumpah) yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.514) 8. Istri itu terhindar dari hukuman apabila dia bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta,
514) Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, tetapi tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, harus bersumpah dengan nama Allah Swt. sebanyak empat kali bahwa tuduhannya adalah benar adanya. Kemudian, dia bersumpah sekali lagi bahwa dia siap menerima laknat Allah jika dia berdusta. Masalah ini dalam fikih dikenal dengan lian.
Asbabun Nuzul
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa di hadapan Nabi saw. Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syuraik bin Sahma’ Nabi saw. bersabda kepadanya, “Keluarkan saksi! Kalau tidak, kamu harus menerima hukuman had.” Ia berkata, “Rasulullah, seorang dan kami melihat lelaki lain bersama istrinya, apa mungkin dia pergi mencari saksi?!” Nabi saw. mengulangi sabdanya, “Keluarkan saksi! Kalau tidak, kamu harus menerima hukuman had.” Hilal pun berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku berkata apa adanya. Semoga Allah menurunkan ayat yang membebaskan aku dari hukuman had.” Maka Jibril turun membawa ayat ini Ahmad meriwayatkannya dengan lafazh bahwa ketika turun ayat, “Dan orang-orang yang menuduh berzina, dan mereka tidak menghadirkan 4 orang saksi maka cambuklah mereka dengan 80 kali cambukan…”. Sa’ad bin Ubadahdia pemimpin Ansha-berkata,”Apakah demikian ayat itu diturunkan, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Hai orang-orang Anshar, apakah kalian tidak mendengar ucapan pemimpin kalian ini?” Mereka menyahut, “Wahai Rasulullah, jangan salahkan dia! Dia seorang yang amat pencemburu. Sungguh, ia tidak menikahi wanita, yang seorang di antara kami juga ingin menikahinya, karena saking besarnya cemburunya.” Sa’ad berkata, “Rasulullah, aku sungguh tahu bahwa ayat itu benar dan bahwa ia dari Allah. Hanya saja aku merasa heran bahwa kalau aku mendapati istri aku disetubuhi seseorang, aku tidak boleh menyeretnya atau menggerakkannya sebelum membawa empat orang saksi! Sungguh aku tidak akan mendatangkan mereka kecuali setelah dia menyelesaikan kebutuhannya” Tidak lama kemudian datanglah Hilal bin Umayyah, salah satu dari tiga orang yang diterima tobatnya. Dia datang dan kampungnya pada waktu isya, dan ia dapati seorang lelaki sedang bersama istrinya. Ia melihat dengan matanya dan ia dengar dengan telinganya sendiri. Dia tidak bertindak apa-apa hingga pagi harinya. Lalu ia pergi menemui Rasulullah dan melapor, “Aku pulang ke rumah pada waktu isya. Aku dapati istri aku bersama seorang lelaki. Aku saksikan dengan mata aku dan aku dengar dengan telinga aku!” Rasulullah tidak senang dengan laporan yang dibawanya. Orang-orang Anshar berkumpul dan berkata, “Kita telah ditimpa peristiwa seperti yang dikatakan Sa’ad bin ‘Ubadah. Sekarang Rasulullah akan mencambuk Hilal bin Umayyah dan membatalkan persaksiannya di masyarakat!” Hilal berkata, “Demi Allah, aku berharap Allah memberi jalan keluar bagi aku dari hukuman.” Demi Allah, Rasulullah sudah hendak memerintahkan pelaksanaan hukuman cambuk, ketika tiba-tiba Allah menurunkan wahyu kepada beliau sehingga para sahabat menahan pelaksanaannya hingga beliau selesai menerima wahyu. Saat itulah turunnya ayat ini. Abu Ya’la meriwayatkan hal senada dari hadits Anas.
Al-Bukhari dan Muslim serta yang lain meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad bahwa Uwaimir datang menemui Ashim bin Adi. Dia berkata ,”Tanyakanlah kepada Rasulullah. Kalau ada seorang laki-laki mendapati lelaki lain bersama istrinya lalu ia membunuhnya, apakah dia akan dibunuh sebagai hukuman qishash, atau harus bagaimana?” Lalu Ashim menanyakan hal itu kepada Rasulullah, dan beliau mengecamnya. Ketika berjumpa lagi, Uwaimir bertanya, “ada apa denganmu?” Ia menjawab, “ada apa denganku?! Kamu tidak membawa kebaikan buatku! Aku sudah bertanya kepada Rasulullah, tapi beliau malah mengecamku!” Uwaimir berkata, “Demi Allah, aku akan datangi Rasulullah dan aku akan bertanya sendiri!” Lalu ia pergi bertanya dan Rasulullah mengatakan, “Telah diturunkan beberapa ayat kepadaku mengenai dirimu dan istrimu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajjar berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mentarjih bahwa ayat-ayat ini turun tentang Uwaimir, dan ada pula yang mentarjih bahwa ia turun tentang urusan Hilal, juga ada yang mengompromikan antara keduanya bahwa yang pertama-tama terjadi adalah urusan Hilal lalu kebetulan saat itu juga Uwaimir datang, jadi ayat-ayat tersebut turun mengenai keduanya. An-Nawawi, diikuti oleh al-Khathib, cenderung kepada kompromi ini. Katanya, ‘Barangkali keduanya kebetulan terjadi pada waktu bersamaan.”
Kata al-Hafizh Ibnu Hajjar, “Ada kemungkinnan bahwa ayat itu telah turun disebabkan peristiwa Hilal; dan ketika Uwaimir—yang tidak mengetahui peristiwa yang dialami Hilal—datang, Nabi saw. memberi tahunya tentang hukumnya. Oleh sebab itu, beliau mengeluarkan sabda seperti itu dalam kisah Hilal, lalu Jibril turun, sedangkan dalam kisah Uwaimir beliau bersabda, ‘Allah telah menurunkan ayat tentang dirimu.’ Ucapan beliau, ‘Allah telah menurunkan ayat tentang dirimu,’ diartikan, ‘… Tentang siapa pun yang mengalami seperti apa yang kamu alami.’ Jawaban inilah yang dikemukakan oleh Ibnush Shabbaagh dalam ‘asy-Syaamil Sementara al-Qurthubi cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa ada kemungkinan ayat ini turun dua kali.”
Al-Bazzar meriwayatkan dari Zaid bin Muthii’ dari Hudzaifah bahwa Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar, “Kalau kamu lihat seorang laki-laki bersama Ummu Ruman, apa yang akan kamu lakukan terhadapnya?” Ia menjawab, “Aku pasti mengambil tindakan yang buruk terhadapnya.” Rasulullah bertanya, “Bagaimana denganmu, Umar?” Ia menjawab, “Aku akan mengatakan, ‘Allah mengutuk orang yang lebih lemah, dan sungguh dia orang yang keji.” Maka turunlah ayat ini. Kata al-Hafizh Ibnu Hajjar, “Tidak ada halangan sebab turunnya ayat banyak.”
Ayat 11
اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ١١
11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok di antara kamu (juga). Janganlah kamu mengira bahwa peristiwa itu buruk bagimu, sebaliknya itu baik bagimu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Adapun orang yang mengambil peran besar di antara mereka, dia mendapat azab yang sangat berat.515)
515) Berita bohong ini mengenai ‘Aisyah r.a., Ummul Mukminin, setelah perang dengan Bani Muṣṭaliq pada bulan Syakban 5 H. Perang itu diikuti kaum munafik dan turut pula ‘Aisyah r.a. dengan Nabi saw. berdasarkan undian yang diadakan di antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan kembali, mereka berhenti pada suatu tempat. ‘Aisyah r.a. keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pun mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa ‘Aisyah r.a. masih ada dalam sekedup. Setelah ‘Aisyah r.a. mengetahui sekedupnya sudah berangkat, dia duduk di tempatnya dan berharap sekedup itu akan kembali menjemputnya. Secara kebetulan, seorang sahabat Nabi bernama Ṣafwan bin Mu‘aṭṭal lewat di tempat itu dan menemukan seseorang yang sedang tidur sendirian. Ṣafwan terkejut seraya mengucapkan, “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn, istri Rasul!” ‘Aisyah r.a. terbangun. Lalu, Ṣafwan mempersilakan oleh ‘Aisyah menaiki untanya. Ṣafwan berjalan menuntun unta sampai Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian, kaum munafik membesar-besarkannya. Maka, fitnah atas ‘Aisyah r.a. itu pun bertambah luas sehingga menimbulkan keguncangan di kalangan kaum muslim.
Asbabun Nuzul
Al-Bukhari dan Muslim serta yang lain meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Apabila Rasulullah hendak mengadakan perjalanan, beliau biasanya mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar maka dialah yang ikut bersama beliau. Dalam suatu peperangan, beliau mengundi kami, karena namaku yang keluar maka aku pun ikut pergi bersama beliau. Hal itu terjadi setelah diwajibkannya hijab. Maka aku pun diangkut di atas tandu dan tetap tinggal di dalamnya. Ketika Rasulullah selesai dari peperangan dan kami sedang dalam perjalanan pulang serta sudah dekat dengan Madinah, suatu malam beliau mengumumkan hendak melanjutkan perjalanan. Setelah menyelesaikan hajat, aku kembali ke tandu. Tapi ketika ku sentuh dada, kalungku buatan Azhfaar telah putus. Maka aku pun kembali ke tempat semula untuk mencari kalung. Aku masih di sana untuk mencarinya, sementara orang-orang yang mengangkut tandu sudah datang dan mereka pun mengangkatnya. Mereka menaikkannya ke unta. Mereka mengira aku berada di dalam tandu. Wanita pada masa itu tubuhnya ringan, tidak berat oleh daging. Mereka hanya makan sesuap makanan. Karena itulah para pengangkut tandu itu tidak merasa heran dengan ringannya tandu ketika mereka mengangkatnya. Mereka tuntun unta tersebut lalu berangkat. Aku baru menemukan kalungku setelah rombongan pergi. Ketika tiba di tempat peristirahatan mereka tadi, tak seorang pun kelihatan. Akhirnya aku menuju tempat istirahat tadi. Aku pikir mereka akan menyadari bahwa aku tidak ada bersama mereka dan mereka akan kembali untuk mencari. Ketika aku duduk, aku merasa mengantuk sehingga tertidur. Ketika itu Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sularni berjalan di belakang pasukan, dan pagi hari itu dia sampai di tempatku. Ia melihat sesosok manusia sedang tidur dan segera ia mengenalku begitu melihatku. Dia memang pernah melihatku sebelum diwajibkannya hijab. Aku terbangun mendengar suaranya mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!’ Maka aku pun buru-buru menutupi wajahku dengan jilbabku. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku selain ucapan tarajii’nya tadi. Ia hanya mendudukkan untanya, lalu aku pun menaikinya. Kemudian dia menuntun unta sampai kami tiba di pasukan yang sedang berhenti untuk beristirahat di siang hari yang terik. Maka, binasalah orang yang menyebarkan gosip tentang diriku. Orang yang paling giat dalam hal itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Aku tiba di Madinah, lalu selama sebulan aku jatuh sakit, sementara orang-orang memperbincangkan perkataan ahlul-ifki (para penyebar gosip) sedangkan aku tidak rnenyadarinya sama sekali. Barulah ketika aku agak sehat dan aku keluar bersama Ummu Misthah menuju Manaashi’—yaitu tempat buang hajat kami— tiba-tiba Ummu Misthah terjatuh dan ia mengatakan, ‘Celakalah Misthah!’ Aku berkata, ‘Buruk sekali ucapanmu! Mengapa engkau memaki seseorang yang ikut Perang Badar?!’ Ia menjawab, ‘belumkah kamu mendengar apa yang ia katakan?’ Aku bertanya, ‘Apa yang ia katakan?’ Ia lalu memberi tahuku tentang perkataan ahlul ifki, sehingga penyakitku tambah parah. Ketika Rasulullah masuk ke kamarku, aku berkata, ‘Apakah engkau mengizinkan aku mengunjungi orang tuaku?’ Aku sebetulnya hanya ingin memastikan berita itu dari mereka. Beliau mengizinkan. Lalu aku mendatangi orang tuaku. Aku bertanya kepada ibuku, ‘Ibu, apa yang diperbincangkan orang-orang?’ Ia menjawab, ‘Oh anakku, lapangkan hatimu. Demi Allah, kalau seorang wanita sangat cantik dan dicintai suaminya serta dia punya madu, pasti madunya akan mengganggunya.’ Aku berkata, ‘Subhanallah! Apa benar orang-orang membicarakan hal itu?’ Aku pun menangis malam itu sampai pagi, tidak pernah berhenti air mataku mengalir dan tidak sekejap pun aku tidur. Lalu paginya aku masih menangis. Kemudian Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid ketika wahyu tidak turun-turun. Beliau meminta pendapat mereka berdua tentang kemungkinan menceraikan istrinya. Usamah mengemukakan pandangannya tentang apa yang ia ketahui mengenai ketidakbersalahan istri beliau. Katanya,”Wahai Rasulullah, ia adalah istri Anda, dan kami tidak mengetahui kecuali kebaikan!’ Sedangkan Ali berkata, ‘Allah tidak memberi kesempitan kepada Anda. Wanita selain dia banyak. Kalau Anda menanyai budak wanita itu, pasti dia akan menjawab sejujurnya.’ Maka beliau memanggil Bariirah dan berkata,”Hai Bariirah, apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakanmu pada diri Aisyah?’ Bariirah menjawab, ‘Demi Allah yang mengutus Anda dengan kebenaran, aku tidak melihat sesuatu yang aku ragukan pada dirinya selain fakta bahwa dia hanyalah seorang gadis belia yang ketiduran menjaga adonan keluarganya sehingga datang ayam yang memakannya.’ Mendengar itu, Rasulullah bangkit dan berdiri di atas mimbar. Lalu beliau meminta uzur bagi Abdullah bin Ubay. Kata beliau, ‘Wahai kaum muslimin, siapa yang maklum kalau aku ambil tindakan atas seseorang yang menyakiti aku dengan memfitnah istriku? Demi Allah, aku tidak mengetahui selain kebaikan pada istriku!’ Hari itu aku masih menangis, air mataku tidak pernah berhenti menetes. Lalu malam itu juga aku masih menangis, air mataku tidak pernah berhenti turun, dan aku tidak pernah tidur. Kedua orang tuaku mengira bahwa tangis akan merusak hatiku. Ketika mereka duduk di dekatku sementara aku menangis, tiba-tiba seorang wanita Anshar minta izin masuk. Setelah kuizinkan, ia duduk dan menangis bersamaku. Kemudian Rasulullah datang, mengucapkan salam, lalu duduk. Sudah sebulan beliau tidak menerima wahyu mengenai urusanku. Beliau mengucapkan syahadat, lalu bersabda, ‘Amma ba’du. Aisyah, aku mendengar begini dan begitu tentang dirimu. Kalau kamu tidak bersalah, pasti Allah akan menyatakanmu tidak bersalah. Tapi kalau kamu telah melakukan suatu dosa, mintalah ampun kepada Allah dan bertobatlah, sebab kalau seorang hamba mengakui dosanya dan bertobat maka Allah akan menerima tobatnya.’ Usai beliau berkata demikian, aku katakan kepada ayahku, ‘Tolong aku menjawab Rasulullah!’ Ia berkata,”Demi Allah, aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan!’ Lalu aku katakan kepada ibuku, ‘Tolong aku menjawab Rasulullah!’ Tapi ia juga berkata, ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan!’ Akhirnya aku berkata— sementara aku hanyalah seorang gadis belia, ‘Demi Allah, aku tahu kalian telah mendengar hal ini hingga ia mantap dalam hati kalian dan kalian membenarkannya. Kalau kukatakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah—dan Allah tahu bahwa aku tidak bersalah—pasti kalian tidak akan percaya ucapanku.’ Dalam sebuah riwayat, ‘Tapi kalau aku mengakui sesuatu pada kalian—padahal Allah tahu bahwa aku tidak melakukannya—pasti kalian percaya ucapanku.
Dan demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan tentang aku dan kalian kecuali seperti perkataan ayah Yusuf, maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (Yusuf : 18) Lalu aku bergeser dan berbaring di pembaringan. Demi Allah, Rasulullah belum meninggalkan tempat duduknya, dan belum keluar seorang pun dari dalam rumah, hingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi saw. sehingga seperti biasanya tubuh beliau bergetar. Setelah selesai, perkataan pertama yang diucapkannya adalah, ‘Bergembiralah, Aisyah! Allah telah menyatakan kamu tidak bersalah!’ Ibuku segera berkata kepadaku, ‘Bangun dan hampirilah dia!’ Aku berkata,”Demi Allah, aku tidak mau menghampirinya. Aku hanya mau memuji Allah, sebab Dialah yang menurunkan pernyataan kesucianku.’ Allah menurunkan ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga,’ sepuluh ayat. Maka Abu Bakar berkata,’Demi Allah, aku tidak akan memberinya nafkah setelah apa yang ia katakan tentang Aisyah!’ Maka Allah menurunkan firman-Nya ayat 22
Ayat 22
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٢٢
22. Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Asbabun Nuzul
Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku sungguh ingin Allah mengampuniku.” Lalu ia kembali memberikan nafkah kepada Misthah sebagaimana dahulu ia berikan. Dalam hal ini terdapat riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang disebutkan oleh ath-Thabrani, dari Abu Hurairah yang disebutkan oleh al-Bazzar, dan dari Abul Yusr yang disebutkan oleh Ibnu Mardawaih.
Ayat 23
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ ٢٣
23. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos,516) dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar
516) Yang dimaksud dengan perempuan-perempuan yang polos adalah perempuan-perempuan yang tidak pernah sekali pun tebersit dalam pikirannya untuk berbuat keji.
Asbabun Nuzul
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Khashif, dia berkata, “Aku bertanya kepada Sa’id ibnuz-Zubair,”Mana yang lebih berat: zina atau qadzaf” Ia menjawab, ‘Zina.’ Aku berkata, ‘Allah berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik.” Ia berkata,”Ini turun khusus tentang urusan Aisyah.” Dalam sanad riwayat ini terdapat Yahya al-Hamaani, seorang yang lemah.
Ia meriwayatkan pula dari adh-Dhahhak bin Muzahim bahwa ayat ini turun tentang para istri Nabi saw. secara khusus.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sa’id ibnuz-Zubair dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun tentang Aisyah secara khusus.
lbnu Jarir meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Aku difitnah tanpa aku menyadarinya. Kemudian aku mendengarnya. Dan ketika Rasulullah berada bersamaku, beliau menerima wahyu. lalu beliau duduk tegak dan mengusap wajahnya. Kemudian beliau bersabda, ‘Hai Aisyah, bergembiralah!’ Aku menyahut, ‘Aku memuji Allah, bukan memujimu!’ Lalu beliau membaca, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik,”sampai ayat,”Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang….”.
Ayat 26
اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ ٢٦
26. Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.517)
517) Ayat ini menunjukkan kesucian ‘Aisyah r.a. dan Safwan dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang paling baik. Maka, perempuan yang baik pulalah yang menjadi istri beliau.
Asbabun Nuzul
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang para perawinya tsiqah dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. bahwa ayat ini turun tentang Aisyah ketika difitnah orang munafik, lalu Allah menyatakan kebersihannya dari tuduhan itu.
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan dua sanad, yang kedua-duanya mengandung kelemahan, dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun tentang orang-orang yang membicarakan gosip dusta mengenai istri Nabi saw.
Ath-Thabrani juga meriwayatkan dari al-Hakam bin Utaibah bahwa ketika orang-orang membicarakan perihal Aisyah, Rasulullah mengutus seseorang menemui Aisyah dengan pertanyaan, “Aisyah, apa yang dibicarakan orang-orang itu?” Ia menjawab, “Aku tidak meminta maaf atas apa pun hingga turun uzur aku dari langit.” Maka Allah menurunkan mengenai dirinya lima belas ayat dari surah an-Nuur. Lalu ia membaca sampai ayat, “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji.” ini mursal, tapi sanadnya shahih.
Ayat 27
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتّٰى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَهْلِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ ٢٧
27. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Demikian itu lebih baik bagimu agar kamu mengambil pelajaran.
Asbabun Nuzul
Al-Faryabi dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Adi bin Tsabit bahwa seorang wanita Anshar datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berada dalam sebuah rumah yang aku tidak suka seorang pun melihatku, akan tetapi selalu saja ada lelaki dari keluarga aku yang masuk rumah sementara aku berada dalam keadaan tersebut. Apa yang harus aku perbuat?” Maka turunlah ayat ini.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan bahwa ketika turun ayat isti’dzaan (etika meminta izin) memasuki rumah, Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan para pedagang Quraisy yang bolak-balik antara Mekah-Madinah-Syam, dan mereka mempunyai rumah-rumah tertentu di tengah perjalanan? Bagaimana mereka minta izin dan mengucapkan salam padahal tidak ada yang tinggal di dalamnya?” Maka turunlah, “Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.”
Ayat 31
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ٣١
31. Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.
Asbabun Nuzul
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil. Jabir bin Abdillah menceritakan bahwa Asma’ binti Martsad ketika itu sedang berada di kebun kurmanya. Tiba-tiba beberapa wanita masuk ke kebun tanpa mengenakan hijab. sehingga terlihat gelang di kaki mereka, juga terlihat dada dan rambut mereka. Maka Asma berkata, “Alangkah buruknya hal ini!” Maka Allah menurunkan ayat ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari seseorang yang berasal dari Hadhramaut bahwa seorang wanita memasang dua gelang perak dan mengenakan batu kumala, lalu ia lewat di depan sekelompok orang dan ia menghentakkan kakinya sehingga gelang kakinya membentur batu kumala dan mengeluarkan suara. Maka Allah menurunkan ayat, “Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Ayat 32
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٣٢
32. Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Asbabun Nuzul
Ibnus Sakan, dalam Ma’rifatush Shahaabah, meriwayatkan dari Abdullah bin Shabih dari ayahnya, ia berkata, “Dulu aku adalah budak Huwaithib bin Abdul Uzza. Ketika aku meminta transaksi mukaatabah padanya, ia menolak. Maka turunlah ayat ini.
Ayat 33
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗوَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣٣
33. Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.
Asbabun Nuzul
Firman-Nya, “Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran.”
Muslim meriwayatkan dari Abu Sufyan dari Jabir bin Abdillah bahwa Abdullah bin Ubay pernah mengatakan kepada seorang budak wanitanya, “Pergilah dan melacurlah untuk kami!” Maka Allah menurunkan ayat ini. Muslim juga meriwayatkan dari ini bahwa seorang budak wanita milik Abdullah bin Ubay, yang benama Masikah, dan seorang budak wanita yang lain yang benama Umaimah, dipaksa oleh Abdullah untuk berzina, lalu keduanya mengadukan hal itu kepada Nabi saw.. Maka Allah menurunkan ayat ini
Al-Hakim meriwayatkan dari Abuz Zubair dari Jabir bahwa Masikah datang kepada sebagian orang Anshar, lalu mengatakan, “Majikan aku memaksa aku melacur.” Maka turunlah ayat ini
Al-Bazzar dan ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari lbnu Abbas bahwa dahulu Abdullah bin Ubay punya Seorang budak wanita yang pada masa jahiliah melakukan pelacuran. Ketika zina diharamkan, budak ini berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berzina untuk selamanya!” Maka turunlah ayat ini.
Al-Bazzar meriwayatkan hal senada dengan sanad yang lemah dari Anas, dan ia menyebut nama budak wanita itu Mu’adzah.
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Sya’ban dari Amr bin Dinar dari ‘Ikrimah bahwa Abdullah bin Ubay dahulu punya dua orang budak wanita: Masikah dan Mu’adzah. Abdullah memaksa mereka berzina. Maka salah seorang budak itu berkata, “Kalau zina memang bagus, aku sudah terlalu sering melakukannya. Tapi kalau tidak bagus, sudah sepatutnya aku meninggalkannya.” Maka Allah menurunkan ayat ini.
Ayat 48
وَاِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ مُّعْرِضُوْنَ ٤٨
48. Apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar ia (Rasul) memutuskan perkara di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka berpaling.
Asbabun Nuzul
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari mursal al-Hasan bahwa dahulu, kalau seseorang punya permusuhan atau persengketaan dengan orang lain, lalu ia diajak menghadap Nabi saw., dan ia berada di pihak yang benar, maka ia akan patuh dan ia tahu bahwa Nabi saw. akan memberikan haknya kepadanya. Tapi kalau ia mau berbuat zalim lalu ia diajak untuk menghadap Nabi saw., ia akan berpaling seraya mengatakan, “Pergilah menemui si Fulan!” Maka Allah menurunkan ayat ini
Ayat 55
وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ٥٥
55. Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai; dan Dia sungguh akan mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Siapa yang kufur setelah (janji) tersebut, mereka itulah orang-orang fasik.
Asbabun Nuzul
Al-Hakim dan ath-Thabrani meriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab bahwa ketika Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Madinah dan ditampung kaum Anshar, seluruh bangsa Arab bersatu memusuhi mereka. Kaum muslimin ketika itu tidak tidur tanpa membawa senjata, dan tidak bangun kecuali memegang senjata. Maka mereka berkata, “Kalian lihat kapan kita hidup dan tidur dengan aman, tidak takut kecuali kepada Allah?!” Maka turunlah ayat, “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman…”.
lbnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Bara’, dia berkata, “Ayat ini turun tentang kami tatkala kami berada dalam ketakutan yang hebat.”
Ayat 61
لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ وَّلَا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اٰبَاۤىِٕكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اُمَّهٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اِخْوَانِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخَوٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَعْمَامِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ عَمّٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخْوَالِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ خٰلٰتِكُمْ اَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَّفَاتِحَهٗٓ اَوْ صَدِيْقِكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ࣖ ٦١
61. Tidak ada halangan bagi orang buta, orang pincang, orang sakit, dan dirimu untuk makan (bersama-sama mereka) di rumahmu, di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya, atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagimu untuk makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah itu, hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu agar kamu mengerti.
Asbabun Nuzul
Abdurrazzaaq berkata, “Muammar memberi tahu kami dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid bahwa dahulu orang menuntun orang buta, orang pincang, dan orang sakit ke rumah ayahnya, rumah saudara lelakinya, rumah saudara wanitanya, atau rumah bibinya. Sementara orang-orang yang sakit kronis enggan melakukan hal itu. mereka berkata,”Mereka membawa kita ke rumah selain rumah mereka sendiri!’ Maka tururlah ayat ini sebagai rukhshah bagi mereka.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Allah menurunkan ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar),.. .” (an-Nisaa’: 29) Kaum muslimin berkata, “Allah melarang kita memakan harta benda di antara sesama kita dengan cara yang batin. Karena makanan termasuk harta paling afdhal, berarti seseorang tidak boleh makan di tempat orang lain.” Maka orang-orang pun berhenti melakukannya, sehingga turun ayat, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) hagi dirimu,…” sampai firman-Nya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri.”
Adh-Dhahhak meriwayatkan bahwa dahulu sebelum Nabi saw. diutus, orang-orang jahiliah pada waktu makan tidak mau ditemani orang buta, orang sakit, atau orang pincang, sebab orang buta tidak dapat melihat makanan yang bagus, orang yang sakit tidak dapat menyantap makanan seperti orang sehat, dan orang pincang tidak dapat berdesakan untuk mendapat makanan. Maka, turunlah rukhshah tentang makan bersama mereka.
Ia meriwayatkan dari Maqsim bahwa dahulu mereka enggan makan bersama orang buta dan orang pincang. Maka turunlah ayat ini.
Ats-Tsa’labi meriwayatkan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas bahwa al-Harits berangkat perang bersama Rasulullah dan dia meninggalkan keluarganya dalam penjagaan Khalid bin Zaid, tapi dia segan makan makanan mereka sebab dia sakit. Maka turunlah firman Allah, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu,…”
Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Aisyah bahwa kaum muslimin sangat ingin pergi berperang bersama Rasulullah. Maka mereka pun menyerahkan kunci rumah-rumah mereka kepada orang-orang yang sakit keras disertai pesan kepada mereka, “Kami izinkan kalian makan apa saja yang kalian inginkan!” Akan tetapi mereka (orang-orang yang sakit itu) berkata, “Kita tidak boleh makan, sebab mereka memberi izin tidak secara sukarela.” Maka Allah menurunkan ayat, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu,” hingga firman-Nya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari az-Zuhri bahwa ia ditanya tentang ayat ini. “Mengapa orang buta, orang pincang, dan orang sakit disebut di sini?” Ia menjawab, “Ubaidillah bin Abdullah memberi tahuku bahwa dahulu apabila kaum muslimin pergi berperang, mereka meninggalkan orang-orang sakit keras dan menyerahkan kunci rumah kepada mereka, disertai pesan, ‘Kami izinkan kalian makan apa saja yang ada di rumah kami.’ Akan tetapi orang-orang sakit itu merasa segan melakukannya. Kata mereka, ‘Kita tidak boleh memasuki rumah mereka sewaktu mereka tidak ada.’ Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai rukhshah bagi mereka.”
Ia meriwayatkan dari Qatadah bahwa ayat, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri, “turun tentang satu marga bangsa Arab, yang salah seorang dari mereka tidak mau makan seorang diri, dan selalu membawa makanannya setengah harian sampai dia temukan seseorang yang makan bersamanya.
Ia meriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Abu Shaleh, kata mereka, “Apabila orang-orang Anshar menerima tamu, mereka tidak makan hingga si tamu makan bersama mereka. Maka turunlah ayat ini sebagai rukhshah bagi mereka.”
Ayat 62
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاِذَا كَانُوْا مَعَهٗ عَلٰٓى اَمْرٍ جَامِعٍ لَّمْ يَذْهَبُوْا حَتّٰى يَسْتَأْذِنُوْهُۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَأْذِنُوْنَكَ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ فَاِذَا اسْتَأْذَنُوْكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِّمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٦٢
62. (Yang disebut) orang-orang (yang benar-benar) mukmin hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad), dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Nabi Muhammad) dalam suatu urusan bersama, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka, apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Asbabun Nuzul
Ibnu Ishaq dan al-Bathaqi dalam ad-Dalaa’il meriwayatkan dari Urwah, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, dan lain-lain bahwa ketika Quraisy datang menyerbu pada Perang al-Ahzab, mereka berkemah di Majma’ul Asyaal dekat Rumah Bi’r di Madinah. Mereka dipimpin Abu Sufyan. Suku Ghathafan juga datang dan mereka berkemah di Na’maa, di lereng Gunung Uhud. Ketika Rasulullah mendengar berita itu, beliau segera menggali parit di sekitar Madinah. Beliau bekerja, juga kaum muslimin ikut bekerja, sementara kaum munafiqin berlambat lambat (enggan). Mereka memilih pekerjaan yang ringan-ringan, lalu menyelinap pergi ke rumah mereka tanpa sepengetahuan dan izin Rasulullah. Sementara kalau seseorang dari kaum muslimin punya hajat yang harus diselesaikan, ia memberitahukannya kepada Rasulullah dan meminta izin untuk memenuhi hajatnya lalu beliau memberinya izin. Kalau sudah selesai dari hajatnya, dia kembali bekerja. Maka Allah menurunkan ayat ini hingga ayat 64.